PEMILU : Politik dibalut Kosmetik

Akhir-akhir ini Jogja lebih berwarna. Tidak melulu pemukiman padat nan kumuh yang terlihat. Tidak hanya dijejali motor dan mobil yang berlomba untuk kentut sembarangan. Hitam dan menyesakkan pula. Kini pemandangan rutin tersebut perlahan pudar ditutupi wajah-wajah temporer penuh make up. Dengan beragam warna yang ngejreng dan sedikit melelahkan mata. Anak-anak pasti suka dengan fenomena seperti ini. Mereka tentunya bisa belajar mengenal warna, menggambar binatang yang tidak jelas serta berlatih menghafal pepohonan, matahari, atau apa lah. Dunia anak kecil susah dimengerti. Sebaliknya orangtua berebut naik pohon kelapa, antena atau apalah pokoknya yang tinggi. Untuk memajang bendera-bendera ngejreng tadi setinggi-tingginya. Pokoknya sampai menutupi jalannya pesawat yang mau lewat. Memangnya siapa yang bisa lihat dari bawah. Dunia orangtua memang sulit dipahami. Itu adalah sekelumit cerita tentang pemilu di Indonesia. Ya, negeri yang dilabeli dengan julukan ‘paling demokratis’ ketiga di dunia setelah AS dan India. Walaupun kita juga tak terlalu bangga dengan prestasi itu. Sama dengan julukan lain yang sejenis, seperti Zamrud Khatulistiwa, Muslim terbesar (yang miskin), Gemah Ripah loh Jinawi serta nama sandang lainnya yang tak ada korelasinya dengan keadaan bangsa ini yang semakin terpuruk. Kembali ke pemilu. Salah satu upaya untuk melakukan perubahan untuk bangsa Indonesia. Apa bisa pemilu 2009 ini menghasilkan perubahan? Ya jelas bisa lah. Di dunia ini apa sih sesuatu yang tetap, apalagi di mata perspektif manusia kecuali eksak tentunya. Hari ini begini besok sudah begitu. Orang Jawa biasa menyebutnya plintat plintut atau mencla mencle. Terlebih di ranah politik yang susah dinalar akal sehat. Dia bisa berbaur dan nyaman dalam sistem politik(demokrasi) jika akalnya sudah geser sedikit. Sayangnya hanya sedikit yang geser sedikit, tapi yang sableng banyaknya minta ampun, jari-jari warga sekampung tak cukup untuk menghitung yang dalam kualifikasi sableng atau malah gendeng. Waduh..... Astaghfirullah, mungkin aku terlalu su’udzon kepada mereka. Semoga saja aku yang salah. Lantas apa yang terjadi jika mereka yang mewakili jutaan rakyat(dalihnya seperti itu) benar-benar sableng dan bobrok mentalnya. Tak terbayangkan lagi dampaknya. Tapi caleg-caleg itu fotonya tampak alim, tampan, dan rapi kok. Meskipun ada yang pasang tampang dingin bagai mayat. Yang seperti itu pasti tak punya visi yang jelas. Yang ada hanya minta doa restu. Cuihh… Memang mau kawinan. Gombal. Basa basi yang sudah basi. Tanda mereka takut tak mampu bersaing dengan kompetitor lain. Estetika kota pun seakan samar ditutupi bermacam wajah beraneka rupa. Coba perhatikan lagi gambar caleg di jalanan. Pasti gambar dirinya jauh lebih besar dari namanya. Mereka bego atau tolol sebenarnya. Di kertas pemilih cuma ada nama dan gambar partai Bung! Rakyat hanya butuh visi dan langkah kongkret kalian. Bukan malah dimintai doa restu plus foto yang sok necis lagi. Memang ada potensi sih dari mereka, yaitu potensi NARSIS…Mending ikut saja Narsis.TV. Pasti menang. OK. Stop menghujat. Pemilu tinggal sekejap mata kok. Tak ada gunanya mengungkap keburukan mereka memang yang tak bisa diurai satu persatu. Walaupun hal itu penting juga untuk menyeleksi siapa yang benar-benar siap untuk menanggung amanah yang berat ini. Sekarang yang rasional untuk kita lakukan adalah menetapkan pilihan. Ya, pilihan yang cerdas. Pilihan yang berdasarkan pencarian dan pemikiran yang matang. Pilihan yang insyaAllah membawa perubahan. Perubahan yang lebih baik tentunya. Demi masa depan bangsa yang gemilang. Kuberharap itu bukan sekedar fantasi dan angan semu saja. Optimis perlu dong walaupun harus realistis juga. Gimana kalau tidak ada caleg yang baik, yang mewakili suara rakyat? Oke, mungkin di mata masyarakat tidak ada caleg yang baik. Yang ada jelek dan busuk semua. Tapi yakinlah bahwa tidak mungkin semua caleg itu busuk. Pasti ada salah satu atau salah banyak yang punya niat bersih dan berkomitmen untuk rakyat. Walaupun mereka minoritarian. Nah tugas kita adalah mengangkat mereka yang berkualitas seperti ini. Dengan cara apa? MENCONTRENG!!! Jangan sampai golput. Itu tak menyelesaikan masalah. Malah dana pemilu jadi mubadzir. Sekadar catatan: dengan anggaran pemilu sebesar 22 Trilyun dan DPT kurang lebih 170 juta pemilih, dapat disimpulkan bahwa alokasi dana untuk setiap suara adalah senilai 270 ribu rupiah. Bayangkan betapa mahalnya suara kita. Amat mubadzir bila tak digunakan. Cap busuk kepada caleg harus kita hapuskan pelan-pelan dalam pola pikir kita. Masyarakat sering mengambil pendekatan satu atau sebagian untuk seluruhnya. Jadi jika ada caleg yang busuk kita berasumsi bahwa semuanya juga busuk. Setali tiga uang. Analoginya seperti ini, wakil rakyat yang bagus itu bagaikan jarum dalam tumpukan jerami. Tapi jika dicari dengan telaten, walaupun susah, pasti akan ketemu juga. Jika memang terpaksa tidak ada yang baik atau kasarnya jelek semua, kita coba mencari yang kejelekannya paling sedikit. Cari abu-abu yang tingkat warna gelapnya tipis. Jangan lupa pelajari visi misi dan program kerjanya sebelum mencap caleg ataupun partai itu baik atau buruk. Baik atau buruk itu amat subyektif, tergantung perspektif masing-masing. Tapi yang memang memilih untuk tidak memilih alias golput, ya monggo, silahkan. Baik golput teknis maupun golput ideologis. Tapi aku salut pada yang golput karena ideologis. Benar-benar mau mengambil keputuskan setelah mengkaji secara mendalam terlebih dahulu. Daripada yang golput karena bersikap apriori, skeptis dan malas, atau malah ikut-ikutan doang. Serba nggak jelas. Apapun masalah yang terjadi di pemilu 2009 ini, pasti ada hikmah di balik ini semua. Sistem yang sangat ”luar biasa” yang dulu dipuja-puji yaitu demokrasi kini mulai pudar pesonanya. Hujatan dan gugatan terhadap demokrasi kini mulai merebak. DEMOKRASI yang kini diidentikkan dengan DEMIKURSI sistemnya sudah sangat bobrok. Loh parpol hasil didikan demokrasi itu kan mengklaim sebagai sarana pendidikan politik dan wadah aspirasi masyarakat? Nonsense. Omong kosong itu semua. Kini telah terjadi degradasi fungsi dan tujuan semula. Parpol adalah media untuk menduduki jabatan dan meraih kekuasaan. Memang untuk sementara kita masih terkungkung dalam sistem yang absurd seperti ini. Tapi kita tak punya pilihan lain. Cara yang bijak adalah mari kita memberi suara kepada wakil rakyat yang amanah agar perlahan-lahan dia bisa merubah sistem ini walaupun itu butuh waktu lama dan butuh jamaah yang solid pula. Loh kok pesimis? Tenang kawan, harapan itu masih ada kok. Asal kita mau ikhtiar dan tawakal tentunya. Salah satunya dengan memilih. Huh. Iklim pemilu Indonesia ya seperti ini. Payah banget ya. Daftar pemilihnya saja tidak jelas. Sampai-sampai banyak pemilih yang memilih untuk tidak memilih. Kalau tidak milih solusinya ada tidak? Itu yang jadi pertanyaan. Toh pasti bakal ada yang diangkat jadi pemimpin. Pemerintahan 5 tahun ditentukan 5 menit lo. Pemerintahan yang kebijakannya ditujukan kepada semua warga negara, tak terkecuali yang golput. Namun semua kembali ke pribadi masing-masing. Kita sama-sama sudah dewasa kan. Akhirnya di 9 April saya ucapkan, ”SELAMAT MEMILIH.....” Septyan Bayu Anggara Bayboy

ISRAEL B*****T

WE WILL NOT GO DOWN By: Michael Heart A blinding flash of white light Lit up the sky over Gaza tonight People running for cover Not knowing whether they’re dead or alive They came with their tanks and their planes With ravaging fiery flames And nothing remains Just a voice rising up in the smoky haze We will not go down In the night, without a fight You can burn up our mosques and our homes and our schools But our spirit will never die We will not go down In Gaza tonight Women and children alike Murdered and massacred night after night While the so-called leaders of countries afar Debated on who’s wrong or right But their powerless words were in vain And the bombs fell down like acid rain But through the tears and the blood and the pain You can still hear that voice through the smoky haze

Malioboro Sayang Malioboro Malang

Ikon pariwisata Kota Jogjakarta yang amat termashur yaitu Malioboro kondisinya kini begitu memprihatinkan. Banyak muncul aroma yang tak sedap di sekitar kawasan ini. Aroma itu berasal dari banyaknya sampah makanan yang menumpuk serta bau pesing yang cukup menyengat. Hal ini mungkin disebabkan oleh semakin padatnya Malioboro dan disertai dengan minimnya fasilitas tempat sampah dan toilet umum yang ada, itupun tidak buka 24 jam. Jadi banyak tukang becak dan anak-anak jalanan yang melampiaskan hasrat buang air kecil di sepanjang Malioboro. Dan hal itu sudah jadi kebiasaan yang sulit dihentikan karena biaya buang air kecil rata-rata Rp 1000,00 sehingga amat memberatkan pelaku sektor informal yang mengadu nasib di sana. Selain itu para pedagang kesulitan membuang limbah cair karena saluran pembuangan sering tersumbat. Hal ini sungguh amat disayangkan karena tentu akan berdampak pada tingkat utilitas( kepuasan) wisatawan yang berkunjung di sana terlebih wisatawan mancanegara. Apalagi Jogjakarta tahun lalu dinobatkan sebagai Destinasi Terbaik Pariwisata Dunia oleh suatu majalah di Malaysia. Tentu diperlukan kerja keras untuk mengembalikan pamor Malioboro yang bersih dan menawan di tengah masalah klasik yang sering menyerbu kota-kota di kawasan negara berkembang terutama Indonesia ,yaitu kumuh dan tak tertata. Solusi yang bisa saya sumbangkan mungkin perlunya sinergitas antara pelaku sektor informal dengan pengelola atau dinas yang terkait, misal dinas kebersihan untuk saling berkomunikasi dan bertindak sesuai dengan tujuan utama pariwisata, yaitu memberi kenyamanan dan kepuasan kepada wisatawan agar betah di Jogjakarta. Selama ini terkesan bergerak demi kepentingan masing-masing. Tak terjalin komunikasi yang baik. Mereka seenaknya mengotori Malioboro karena tak paham apa dampak negatifnya, walaupun tak ada dampak positifnya. Solusi satu lagi yang cukup kongkrit yaitu jelas dengan menambah petugas kebersihan dan fasilitas tempat sampah dan toilet umum. Hanya 18 orang petugas dirasa tak mencukupi untuk membersihkan limbah sebanyak itu. Perlu kesadaran bersama agar pesona Malioboro tidak pudar tertutup tumpukan sampah dan bau pesing lagi.Semoga.....

Majapahit Park, Cermin Kegagalan Perencanaan

MAJAPAHIT PARK , CERMIN KEGAGALAN PERENCANAAN

Sekitar tujuh abad silam, sejarah inspiratif kejayaan nusantara terukir dengan tinta emas. Tepat di bagian timur Pulau Padi ini, tertancap peradaban agung dari sebuah hutan jati. Majapahit, begitu dia disebut, adalah satu hal yang bisa kita banggakan di tengah hina dinanya bangsa ini di mata dunia.

Majapahit adalah tonggak awal berdirinya negara ini. Dimana pada saat itu, paradigma tentang kekuasaan telah bertransformasi. Dari yang sebelumnya bersifat lokal, misal Kediri dan Singasari, menjadi berlingkup global serta bertujuan menyatukan beragam kerajaan dalam satu kesatuan, di bawah kaki Majapahit. Semenjak itulah cikal bakal nusantara sudah terbentuk dan konsep persatuan telah dirintis.

Kejayaan yang membentang dari Sumatera (termasuk Temasek/Singapura) sampai bumi Timor itu kini tinggal kebanggaan semu. Jiwa dan semangat Majapahit tak mengendap dalam sanubari rakyat Indonesia. Bahkan ironisnya pemimpin negeri ini justru menistakan dan menafikan sejarah imperium besar yang berjaya di abad ke-14 ini. Pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) di atas situs yang diyakini terkandung banyak peninggalan bersejarah adalah suatu hal yang amat naif dan terlalu ceroboh.

Ada sebuah pertanyaan besar di sini. Kenapa proyek yang terkesan ambisius dengan pengerjaan yang serampangan itu dapat berjalan begitu saja? Ini membuktikan proses perencanaan proyek yang juga disebut Trowulan Information Centre ini kurang matang. Apalagi kurang melibatkan beberapa ahli dari berbagai disiplin ilmu semisal arkeolog, arsitek dan perencana sehingga terlihat asal-asalan dalam realisasinya di lapangan. Jelas bahwa proyek PIM ini cermin dari kegagalan perencanaan. Dimana tak efektifnya berbagai metode survei dan observasi dalam proses pengambilan kebijakan. Seakan-akan ada kepentingan politis yang terselubung di balik proyek ini.

Pertanyaan selanjutnya, siapakah sebenarnya perancang masterplan kompleks taman terpadu dan pusat informasi (Majapahit Park) ini secara keseluruhan? Menarik untuk dikaji. Dalam dunia perencanaan, kebanyakan konsep rencana tata ruang yang diajukan ternyata jarang diimplementasikan secara nyata jika kurang sesuai dengan keinginan policy maker, meskipun konsepnya bagus dan bermanfaat secara luas. Sedangkan rancangan Majapahit Park yang agak terkesan ngawur ini disetujui begitu saja tanpa mempertimbangkan apa saja yang terkandung di dalam kawasan heritage yang harganya tak bisa dikonversikan dalam bentuk uang. Semakin mengindikasikan bahwa ada motif lain dalam rencana Majapahit Park ini, terutama proyek PIM. Apalagi tanpa sosialisasi rencana yang jelas kepada publik.

Membangun pusat informasi berkonsep taman terpadu, dengan tujuan menyelamatkan situs dan benda kepurbakalaan memang hal yang sangat urgent di tengah maraknya perdagangan ilegal oleh beberapa oknum. Tapi harus dipertimbangkan juga lokasi yang tepat dilihat dari berbagai aspek. Jangan malah merusak kawasan situs yang berharga ini. Dengan kerusakan yang cukup parah, proses penelitian dan rekonstruksi Majapahit akan semakin sulit. Padahal dari sana, kita dapat menemukan bukti kejayaan leluhur bangsa Indonesia yang masih tersisa. Selain itu sebelum berencana untuk mendirikan pusat informasi ada baiknya penelitian area situs harus dituntaskan secara keseluruhan terlebih dahulu. Dengan begitu kita akan punya data yang lengkap dan spesifik mengenai Majapahit sebelum mengembangkannya menjadi kawasan wisata dan budaya.

Perlu diketahui bahwa persoalan rusaknya kawasan penelitian kerajaan Majapahit bukan semata-mata kesalahan pemerintah. Masyarakat sekitar juga mengeksploitasi lahan untuk membuat batu bata secara berlebihan. Selain itu mereka menjual benda- benda purbakala yang mereka temukan. Tak mempedulikan nilai-nilai historis yang ada. Biasanya hal ini dikarenakan faktor kehidupan warga sekitar yang masih jauh dari kata sejahtera. Masalah inilah yang tak boleh diabaikan oleh pemerintah itu sendiri. Harapannya mereka tak seenaknya memanfaatkan kawasan berharga ini untuk kepentingan mereka sendiri. Apa jadinya bangsa ini bila kebudayaan yang luhur ini perlahan pudar dan sampai akhirnya hilang hanya karena rakyatnya kelaparan? Hal ini yang mesti direnungkan oleh pemerintah.

Fakta yang menarik saya temukan dalam sejarah kejayaan bangsa Indonesia. Abad ke-7 muncul kerajaan yang cukup besar dan berpengaruh di tanah Sumatera, yaitu Sriwijaya. Sebagai Kerajaan Nasional I, Sriwijaya menjelma menjadi negara besar pada saat itu. Tujuh abad setelahnya muncul Kerajaan Nasional II yaitu Majapahit yang kekuasaannya meliputi seluruh kepulauan Nusantara. Dan hari ini, kita berdiri tepat 7 abad setelah era kejayaan Majapahit. Lalu kejayaan seperti apakah yang akan kita persembahkan ketika sejarah inspiratif bangsa ini diperkosa habis-habisan. Yang melakukannya justru bukan pihak luar, tapi pemimpin dan rakyat itu sendiri yang rela peradaban masa lalunya diberangus.

Kita harusnya belajar pada sejarah. Sebuah bangsa menjadi besar karena terinspirasi kejayaan masa lalu. Bangsa yang besar ini perlu memupuk sense of belonging terhadap kebudayaan yang dimiliki, terutama Majapahit dan bersiap menjaganya dalam keadaan apapun. Kita tentunya tidak ingin bila Mahapatih Gadjah Mada hidup kembali, beliau akan kecewa dan menangis pilu melihat bangsa Indonesia yang ia rintis dengan cucuran keringat dan tetesan darah kini kondisinya begitu memprihatinkan....